Kebudayaan Suku Minangkabau dari Sumatera Barat
Filosofis Adat
Sejarah adagium atau kesepakatan perjanjian di buat di Bukit Marapalam yang menghadirkan para alim ulama, tokoh adat tradisional serta para cerdik pandai (cendekiawan). Mereka membangun kesepakatan bahwa semenjak saat itu maka adat budaya Minang didasarkan pada syariat Islam. Isi kesepakatan dituangkan dalam kalimat kesepakatan yang berbunyi “Adat basandi syarak (adat bersendi syariat), syarak basandi kitabullah (syariat bersendi kitab Allah). Syarak mangato adat mamakai (syariat melandasi adat)” .Maknanya bahwa adat Minang bersendikan syariat, dan syariat bersendikan kitab Al Quran. Maka sejak saat itu pondasi budaya Minang dibangun diatas pilar agama Islam.Namun, jauh ke belakang sebelum terjadinya puncak kesepakatan tersebut, suku Minang mengalami beberapa fase perombakan pondasi adat, yaitu :
- Adat basandi alua jo patuik dan syarak basandi dalil. Pada fase ini masyarakat Minang menjalankan adat dan syariat secara berbeda. Adat dan syariat memiliki rel-nya masing-masing tanpa saling mengganggu. Agama bagi masyarakat Minang hanya sekadar ibadah saja, sedangkan dalam sistem sosial mereka menggunakan adat tradisional.
- Adat basandi syarak dan syarak basandi adat. Pada fase ini masyarakat Minang mulai mengintegrasikan dan menyandingkan antara adat dan syariat. Dalam penataan sistem sosial, syariat agama mulai dijadikan salah satu sumber membangun aturan dan syariat tidak lagi hanya sekadar ibadah saja.
- Adat basandi syarak dan syarak basandi Kitabullah, syarak mangato adat mamakai. Ini adalah puncak pengintegrasian syariat Islam dengan nilai adat. Hal ini sebagaimana kesepakatan yang dilakukan di Bukit Marapalam. Dengan ini, adat Minang melebur pada syariat Islam.
Adat Matrilineal
Meskipun sudah menjadikan Islam sebagai landasan adat. Namun adat matrilineal masih sangat dipegang teguh oleh suku Minang. Adat matrilineal ini menyandarkan segala garis keturunan pada ibu (pihak perempuan). Hal ini tentu berbeda dengan Islam yang lebih menyandarkan garis keturunannya pada sang ayah (pihak laki-laki). Akibat dari adat matrilinel ini sistem pewarisan dan pengaturan kerumahtanggaan pun juga kemudian lebih berat pada sisi perempuan dibandingkan laki-laki. Beberapa konsekuensi dari budaya matrilineal ini diantaranya :- Keturunan didasarkan pada garis keturunan ibu, sehingga seorang anak akan dimasukkan kedalam suku yang sama dengan suku ibunya berasal
- Seorang laki-laki Minang tidak dapat mewarisi sukunya, sehingga bila terdapat suku yang tidak memiliki anak perempuan dalam sukunya maka suku tersebut sudah dianggap sama dengan punah.
- Setiap orang harus menikah dengan orang diluar sukunya, bila tidak maka ia akan dikenai sanksi dengan dikucilkan.
- Perempuan merupakan pemegang seluruh kekayaan keluarga dan seluruh harta pusaka keluarga, namun dalam hal penentuan keputusan, laki-laki masih memiliki hak mengambil putusan.
- Dalam hal perkawinan menganut sistem matrilokal yakni suami mengunjungi rumah istrinya
- Hak-hak pusaka diwariskan kepada anak perempuan.
Budaya Merantau
Merantau merupakan kebiasaan yang selalu dijalankan oleh laki-laki dari suku Minang. Kebudayaan suku Minangkabau untuk merantau adalah akibat dari adanya adat matrilineal, maka pada dasarnya laki-laki suku Minang tidak memiliki modal harta sama sekali. Oleh sebab itu, kebanyakan laki-laki Minang ketika sudah dewasa selalu pergi dari kampungnya untuk pergi merantau. Tujuannya adalah untuk bekerja dan mencari harta kekayaan.Merantau juga merupakan bagian konsekuensi dari tuntutan laki-laki Minang untuk mencari pasangan yang diluar dari sukunya. Dengan merantau ini maka laki-laki Minang bisa berpotensi untuk mengenal perempuan dari suku lain. Pada awal mulanya makna merantau sendiri adalah pergi keluar dari suku dan bergaul sosial dengan suku lain yang masih dalam etnis Minang. Namun dalam perkembangannya merantau kemudian menjadi kebiasaan untuk keluar dari tanah kelahiran dan bermata pencaharian di tanah lain.
Oleh sebab itu, bila kita melihat pada kehidupan hari ini, banyak sekali orang-orang Minang yang mendiami kota-kota besar di tanah Jawa. Biasanya mereka membuka berbagai macam bentuk usaha sebagai mata pencaharian. Dan usaha yang paling banyak biasanya adalah dengan membuka restaurant atau rumah makan Padang.
Adat Pernikahan
Dalam melangsungkan pernikahan, orang suku Minang harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu :- Kedua calon harus sama-sama beragama Islam
- Kedua calon tidak berasal dari suku yang sama
- Kedua calon dapat saling menghormati dan menghargai orang tua dan keluarga besar kedua belah pihak
- Calon suami telah memiliki sumber penghasilan untuk menghidupi keluarga
- Maresek
- Maminang/ Batimbang Tando
- Mahanta Siriah
- Babako-babaki
- Malam Bainai
- Manjapuik Marapulai
- Penyambutan di rumah anak Daro
Selanjutnya terdapat para dara yang akan menyambut dengan perlengkapan sirih. Para sesepuh wanita kemudian menaburi calon mempelai pria dengan beras kuning. Kemudian kaki calon mempelai pria akan dibasuh dengan air sebagai simbol pensucian sebelum menuju ke tempat akan nikah.
- Prosesi akad Nikah
- Basandiang di Pelaminan
- Tradisi Pasca Akad Nikah
- Mamulangkan Tando, mengembalikan tanda yang dipertukarkan pada tahap Maminang.
- Malewakan Gala Marapulai, yakni memberikan nama dan gelar baru bagi pengantin pria sebagai simbol kedewasaan.
- Balantuang Kaniang, menyentuhkan kening kedua pengantin pria dan wanita.
- Mangaruak Nasi Kuniang, tradisi berebut daging ayam yang disembunyikan di dalam nasi kuning. Dilakukan oleh kedua pengantin sebagai simbol kerjasama antara suami dan istri.
- Bamain Coki, melakukan permainan tradisional Minang semacam catur sebagai simbol mempererat kekeluargaan.
Harta Pusaka Tinggi
Yang dimaksud harta pusaka tinggi adalah harta pusaka yang dimiliki oleh satu kaum atau suku. Bukan harta yang bersifat personal atau pribadi. Biasanya berupa tanah atau barang yang memiliki nilai jual tinggi. Harta pusaka tinggi hanya bisa dimanfaatkan dan tidak boleh diperjual belikan. Harta ini diturunkan secara turun temurun (waris) kepada anak perempuan dalam suatu suku atau keluarga besar. Kaum laki-laki tidak memiliki hak terhadap harta pusaka ini.Meskipun demikian, terdapat beberapa kondisi dimana dalam hukum adat Minang, harta pusaka tinggi boleh untuk digadaikan. Penggadaian harta pusaka tinggi harus disebabkan oleh salah satu dari beberapa alasan yang diperbolehkan untuk penggadaian, yaitu :
- Maik Tabuju Ateh Rumah (mayat terbujur diatas rumah), tidak adanya biaya untuk mengurus jenazah keluarga yang meninggal.
- Gadih atau Rando indak balaki (gadis atau janda tidak bersuami), seorang wanita yang tidak memiliki seorang suami bagi suku Minang adalah sebuah aib. Oleh karenanya, apabila terdapat seorang gadis yang sudah berumur namun belum bersuami atau seorang janda yang tidak bersuami, maka diperbolehkan menggunakan harta pusaka yang tergadai untuk membayar laki-laki yang mau menikahinya.
- Rumah Gadang katirisan (Rumah Gadang mengalami kerusakan). Apabila rumah gadang yang ditempati mengalami rusak berat, maka diperbolehkan menggadaikan untuk melakukan perbaikan rumah agar rumah tidak runtuh/roboh.
- Mambangkik batang tarandam, apabila sebuah suku tidak memiliki penghulu adat, maka diwajibkan untuk melakukan upacara pengangkatan penghulu adat yang pembiayaannya dari penggadaian harta pusaka.
0 komentar:
Posting Komentar